LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONCHKIAL
DI IGD Dr. MOEWARDI
Disusun guna memenuhi tugas praktek Kegawatdaruratan
Di susun oleh :
FAJAR PRASETYO
0081208
AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2011
LAPORAN PENDAHULUAN KEGAWATDARURATAN
ASMA BRONCHIALE
1. I. PENGERTIAN
Asma adalah penyakit jalan nafas yang tidak dapat pulih yang terjadi karena spasme bdonkus disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya alergen, infeksi, latihan. Spasme bronkus meliputi konstriksi otot polos, edema mukosa dan mukus berlebihan dengan perlengketan di jalan nafas pada tahap lanjut. (Hudak, 1997 : 565)
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
( Smeltzer, 2002 : 611)
Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48)
II. PENYEBAB
1. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
– Reaksi antigen-antibodi
– Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
1. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)
– Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal
– Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur
– Iritan : kimia
– Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
– Emosional : takut, cemas dan tegang
– Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.
(Suriadi, 2001 : 7)
III. TANDA DAN GEJALA
1. a. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
– Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
– Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
– Whezing belum ada
– Belum ada kelainan bentuk thorak
– Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
– BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
– Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
– Whezing
– Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
– Penurunan tekanan parsial O2
b.Stadium lanjut/kronik
– Batuk, ronchi
– Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
– Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
– Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
– Thorak seperti barel chest
– Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
– Sianosis
– BGA Pa O2 kurang dari 80%
– Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
– Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
IV. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi asma menurut Halim Danukusumo (2000, hal 218-229) yaitu :
a. Patofisiologi Asma Bronkhiale Alergenik
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen yang masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut alergen dipresentasikan ke sel TH. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-1) mengaktifkan sel TH, melalui penglepasan IL-2 oleh sel TH yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk Ig-E.
Ig-E yang terbentuk diikat mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi.Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan trombosit juga memiliki reseptor untuk Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastoit dan basofil dengan Ig-E pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala .Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada pada permukaan mastoit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin.Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin.
Menurut konsep masa kini asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas (Samsuridjal & Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai kepekaan saluran napas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus (Bronchial Hiper Responsivnees / BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu adanya tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil.
Hipereaktifitas bronkhus yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut (Konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya baik yang berupa irutan maupun yang bukan irutan (Sundaru, H. hal. 27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkhus disebabkan oleh inflamasi bronkhus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkhus pasien asma bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya hiper reaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakir bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran napas.
Bronkhus pada pasien asma mengalami odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk yang produktif.
1. b. Patofisiologi Asma Bronkhiale Non Alergenik
Asma Bronkhiale Non Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga massenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan menghasilkan ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyccyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi kelenjar mukus dan oedema kelenjar mukus bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990).
V. PATHWAYS ASMA BRONCHIALE
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Spirometri (Tidal volume, kapasitas vital)
2. Pemeriksaan sputum dan pemeriksaan eosinofil total (biasanya meningkat dalam darah dan sputum.
3. Pemeriksaan alergi (Radioallergosorbent Test : RAST) : uji kulit, kadar Ig E total dan Ig E specifik dalam sputum
4. Foto thorak
5. AGD
VII. PENGKAJIAN
A. Pengkajian Primer
– Airway
Batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot –otot aksesoris pernapasan ( retraksi otot interkosta)
– Breathing
Perpanjangan ekspirasi dan perpendekan periode inspirasi, dypsnea, takypnea, taktil fremitus menurun pada palpasi, suara tambahan ronkhi, hiperresonan pada perkusi
– Circulation
Hipotensi, diaforesis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat kesadaran, pulsus paradoxus > 10 mm
B. Pengkajian Sekunder
– Riwayat penyakit sekarang
Lama menderita asma, hal yang menimbulkan serangan, obat yang pakai tiap hari dan saat serangan
– Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat alergi, batuk pilek, menderita penyakit infeksi saluran nafas bagian atas
– Riwayat perawatan keluarga
Adakah riwayat penyakit asma pada keluarga
– Riwayat sosial ekonomi
Lingkungan tempat tinggal dan bekerja, jenis pekerjaan, jenis makanan yang berhubungan dengan alergen, hewan piaraan yang dimiliki, dan tingkat stressor.
VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN (Tucker S. Martin, 1998 hal 242-243)
1. a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b. d bronkospasme dan sekresi kental berlebihan
Tujuan: pasien mempertahankan jalan nafas paten
KriteriaHasil :
– Bunyi nafas bersih
– Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
– Tak ada dispnea
Intervensi:
– Kaji sputum terhadap warna, kekentalan dan jumlah
– Ausultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas tambahan misalnya: mengi, krekels, dan ronchi
– Kaji kualitas dan kecepatan pernafasan
– Kaji frekuensi dispnea: gelisah, ansietas distress pernapasan, penggunan otot bantu
– Beri klien posisi pada ketinggian yang nyaman dan mengoptimalkan pernafasan : tinggikan kepala tempat tidur 60 – 90 derajat, sokong punggung dengan bantal
– Berikan oksigen aliran rendah dengan kateter sesuai pesanan
– Pertahankan/ bantu batuk efektif dan bantu untuk fisioterapi dada
– Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari dan berikan air hangat
– Berikan obat : epinefrin, aminofilin, antihistamin, ekspektoran, kortikosteroid adrenal
– Nebulisasi isoproterenol atau kromolin
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut
Tujuan: pasien mempertahankan pola nafas efektif
Kriteria hasil:
– Sesak berkurang atau hilang, RR 18-24x/menit
– Frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
– Tidak ada retraksi otot pernapasan
Intervensi:
– Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan : dispnea, penggunaan otot-otot pernapasan
– Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas darah arteri
– Baringkan pasien dalam posisi fowler tinggi untuk memaksimalkan ekspansi dada
– Berikan terapi oksigen sesuai pesanan
– Pertahankan patensi jalan nafas
– Berikan obat sesuai pesanan
1. c. Cemas b.d krisis situasi, kesulitan bernafas, takut serangan ulang
Tujuan : rasa cemas klien menjadi berkurang sampai hilang
KH:
– Klien tampak rileks
– Mengungkapkan perasaan cemas berkurang
– Tanda – tanda vital normal
Intervensi;
– Kaji tingkat kecemasan klien (ringan, sedang, berat)
– Ukur tanda-tanda vital
– Berikan dukungan emosional
– Implementasikan teknik relaksasi : petunjuk imajinasi, relaksasi otot
– Jelaskan informasi yang diperlukan klien tentang penyakitnya, perawatan dan pengobatannya
– Ajarkan klien tehnik relaksasi (memejamkan mata, menarik nafas panjang)
– Menganjurkan klien untuk istirahat
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998
Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001
Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates , 2000
Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta , EGC, 2002
Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Jakarta, EGC, 1997