appendiksitis

APENDIKSITIS
• Apendiks (appendiks Vermiformis) terletak posteromedial dari caecum pada regio perut kanan bawah.
• Apendiks termasuk organ intra peritoneal. Walaupun kadang juga ditemukan retroperitoneal.
• Organ ini tidak mempunyai kedudukan menetap di dalam rongga perut (rongga peritoneal).
• Panjangnya 5 – 10 cm dengan berbagai posisi (retrocaecal, pelvical, dll)
• Walaupun sangat jarang kadang dijumpai pada regio kiri bawah.
• Mendapat aliran darah dari cabang arteri ileocaecal yang merupakan satu-satunya feeding arteri untuk apendiks, sehingga apabila terjadi trombus akan berakibat terbentuknya ganggren dan berakibat lanjut terjadinya perforasi apendiks.

APENDISITIS AKUT
Adalah : radang pada jaringan apendiks
• Istilah apendisitis pertamakali diperkenalkan oleh Reginal Fitz pada tahun 1886 di Boston.
• Morton pertamakali melakukan operasi apendektomi pada tahun 1887 di Philadelphia.
• Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
• Penyebab obstruksi dapat berupa :
– Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
– Fekalit
– Benda asing
– Tumor.
• Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
• Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
• Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

Created by: Ahmad Rofiq. Dapat diakses via http://www.rofiqahmad.wordpress.com
Klasifikasi Apendisitis
Ellis membagi apendiks menjadi :
1. Apendisitis akut tanpa komplikasi/ perforasi.
2. Apendisitis akut dengan komplikasi/ perforasi (peritonitis, abses/ infitrat)

GEJALA KLINIS :
• Nyeri perut periumbilikal kemudian menetap di kanan bawah.
• Anoreksia, mual muntah.
• Obstipasi, diare
• Disuria.
• Demam

PEMERIKSAAN FISIK
• Nyeri tekan Mc. Burney
• Rovsing sign, Psoas sign, Obturator sign

LABORATORIUM :
• Lekositosis, lekosit > 10.000 /mm3
• Netrofilia.

DIAGNOSIS :
• Gejala klinis
• Laboratoris.
• X-rays
• USG.
• Ct scan

TERAPI :
• Apendektomi terbuka
• Laparoskopi apendektomi

Created by: Ahmad Rofiq. Dapat diakses via http://www.rofiqahmad.wordpress.com

olah rasa

Curahkan Uneg-uneg anda di sini tentang problematika hidup, ataupun pengalaman-pengalaman dalam pendakian (petualangan ) Rohani, Supaya saudara-saudara yang lain bisa memberikan saran, nasehat atau memetik hikmahnya.
Menempuh perjalanan Rohani kuibaratkan seperti menentang arus sungai , dimana sungai itu tengah berada dalam banjir besar. Sungguh berat sekali, banyak hal-hal yang harus dijumpai dan harus dialami, dimana kadang bertentangan dengan rasa, aduh tolong saudaraku berikanlah nasehat-nasehat untukku
Kekadang hidup ini melawan arus, untuk sampai kepada DIA yang ESA. Di bawanya kita untuk diperkenalkan akan kekuasaanNYA and KeindahanNYA agar kita akan bersama DIA senantiasa tanpa bergantung kepada selain NYA. Kekadang berat tanggungan kita rasanye disebabkan masih ada lagi ke AKU an pada diri kita, lepaskan semua keberadaan kita dan bulatkan hati kita yang jernih itu kedalam pelukkan NYA.
Aku kata begini kerana aku juga merasai sebagaimana payah mengharungi perjalanan kerohanian ini. Ibarat buah durian, selama ini aku cuma mencium baunye yang sedap dan berbagai ceritanye yang sungguh enak..tetapi bila aku berpeluang memegang dan merasainye sendiri baru ku tahu untuk menikmatinye bukan seperti yang ku dengar dahulu tapi dengan bimbinganNYA dan mereka yang sudah melaluinya, akhirnya dapatlah aku merasai kenikmatan kemanisan isinya. Kalau diingatkan kembali akan kesakitan dari durinya hendak rasanye aku tinggalkan buah durian ini.
Tetapi saudara ku ingatlah akan dikau kata-kata tuhan AKU
“Tiada sesuatu yang bergerak kecuali AKU yang gerakkan”
“Jika sekiranya seseorang itu aku bagi pertunjuk,tiada siapa yang dapat menyesatkan dan sekiranya seseorang itu AKU sesatkan, tiada sesiapa yang boleh menolongnya”.
Maka dengan itu, teruskanlah langkah mu saudara ku, kerna DIRIMU dan DIRIKU dari sumber yang SATU, DIA lah yang maha KUASA dan lagi maha BIJAKSANA .
berolah rasa….berolah jiwa dan berolah raga…ketiga itu mesti satu kesatuan…

tanpa kesatuan itu akan terdapat kekurangan dalam menempuh jalan yang Esa……
saya pernah mengalami berbagai kepahitan dan kesenangan dalam hidup….tapi itu saja tidak akan cukup tanpa ilmu , ilmu tidak bisa datang sendiri (kecuali terkehendaki oleh Allah SWT)…maka menuntu ilmu itu penting….dan pengamalannya lebih penting…
terkadang dengan dzikir dan pikir belumlah cukup menentramkan hati yang gelisah…tercukupinya lahir bathin itu suatu kemestian….
keseimbangan hidup yang selalu saya cari…belumlah tercapai….ada yang mau sharing…
Keluarkan Jiwa mu dari Raga mu, jangan kau penjarakan jiwa itu didalam raga mu tapi jangan kau lemparkan raga mu nanti musnah segalanya akibat pancaran cahaya mu yang juga cahaya KU.
Syurga neraka itulah Kepahitan dan kesenangan mu di dunia ini, kapaikan kata kata KU…”Para wali-wali KU mendapat dua syurga iaitu syurga didunia dan juga syurga diakhirat. Kata-kata KU bukan omong-omong kosong tapi ada rahsia disebalik tabir hijabKU pada mu yang perlu kau hurai dan engkau jejaki.
Tidak aku katakan Ilmu itu tidak penting tetapi sama-samalah kita mencari yang hakiki dan abadi yang memiliki gedung-gedung NYA pasti. Sepertimana hidup didunia, usah mencari kenalan dari bangsa menteri-menteri disesuatu negeri tetapi berkenalanlah terus dengan Presidennya sendiri yang berkuasa lagi maha mengetahui kerana IAnya sahaja yang memegang kunci-kunci gedung-gedung di negeriNYA sendiri.
Disana mungkin kita bisa lebih saling mengenal, karena disana saya juga menerangkan siapa diri saya ini, serta silsilah saya dari Sunan Kalidjaga, Paku Buwana IX, dan Hamengku Buwana I, semua saya uraikan dengan cukup lengkap ( dengan keterbatasan wahana tentunya, sehingga sebatas itu yang bisa diungkap ). Bersumber dari silsilah yang ada pada saya dan saya jaga, yang telah diresmikan, terutama oleh pemerintah, dan juga pemerintah Hindia Belanda waktu itu.

Disana ada halaman tempat ngangsu kaweruh Jawa-Kejawen, Buddha-Dharma.
Nanti juga akan saya tambahkan ‘pengalaman spiritual’, termasuk pengalaman saya ketika pada usia 5 tahun bersamadhi dan mendapatkan KERIS PANEMBAHAN SENAPATI yang datang menancap ke lantai di depan saya samadhi. Sekarang keris itu masih saya simpan, saya jamasi, saya beri warangka emas.
Dulu juga saya punya keris KYAI SENGKELAT, tapi disimpan oleh Ketua HPK seluruh Indonesia pada tahun 1994.
by.royrastafara@gmail.com

laporan pendahuluan asma

LAPORAN PENDAHULUAN

ASMA BRONCHKIAL

DI IGD Dr. MOEWARDI

Disusun guna memenuhi tugas praktek Kegawatdaruratan

Di susun oleh :

FAJAR PRASETYO

0081208

AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO

UNGARAN

2011

LAPORAN PENDAHULUAN KEGAWATDARURATAN

ASMA BRONCHIALE

1. I. PENGERTIAN

Asma adalah penyakit jalan nafas yang tidak dapat pulih yang terjadi karena spasme bdonkus disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya alergen, infeksi, latihan. Spasme bronkus meliputi konstriksi otot polos, edema mukosa dan mukus berlebihan dengan perlengketan di jalan nafas pada tahap lanjut. (Hudak, 1997 : 565)

Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.

( Smeltzer, 2002 : 611)

Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48)
II. PENYEBAB

1. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)

– Reaksi antigen-antibodi

– Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)

1. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)

– Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal

– Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur

– Iritan : kimia

– Polusi udara : CO, asap rokok, parfum

– Emosional : takut, cemas dan tegang

– Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.

(Suriadi, 2001 : 7)
III. TANDA DAN GEJALA

1. a. Stadium dini

Faktor hipersekresi yang lebih menonjol

– Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek

– Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul

– Whezing belum ada

– Belum ada kelainan bentuk thorak

– Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E

– BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan

– Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum

– Whezing

– Ronchi basah bila terdapat hipersekresi

– Penurunan tekanan parsial O2

b.Stadium lanjut/kronik

– Batuk, ronchi

– Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan

– Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan

– Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)

– Thorak seperti barel chest

– Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus

– Sianosis

– BGA Pa O2 kurang dari 80%

– Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri

– Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
IV. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi asma menurut Halim Danukusumo (2000, hal 218-229) yaitu :
a. Patofisiologi Asma Bronkhiale Alergenik

Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen yang masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut alergen dipresentasikan ke sel TH. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-1) mengaktifkan sel TH, melalui penglepasan IL-2 oleh sel TH yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk Ig-E.

Ig-E yang terbentuk diikat mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi.Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan trombosit juga memiliki reseptor untuk Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastoit dan basofil dengan Ig-E pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala .Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.

Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada pada permukaan mastoit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.

Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin.Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin.

Menurut konsep masa kini asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas (Samsuridjal & Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai kepekaan saluran napas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus (Bronchial Hiper Responsivnees / BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu adanya tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil.

Hipereaktifitas bronkhus yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut (Konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya baik yang berupa irutan maupun yang bukan irutan (Sundaru, H. hal. 27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkhus disebabkan oleh inflamasi bronkhus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkhus pasien asma bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya hiper reaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakir bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran napas.

Bronkhus pada pasien asma mengalami odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.

Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk yang produktif.

1. b. Patofisiologi Asma Bronkhiale Non Alergenik

Asma Bronkhiale Non Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.

Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga massenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan menghasilkan ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyccyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi kelenjar mukus dan oedema kelenjar mukus bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990).
V. PATHWAYS ASMA BRONCHIALE
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Spirometri (Tidal volume, kapasitas vital)
2. Pemeriksaan sputum dan pemeriksaan eosinofil total (biasanya meningkat dalam darah dan sputum.
3. Pemeriksaan alergi (Radioallergosorbent Test : RAST) : uji kulit, kadar Ig E total dan Ig E specifik dalam sputum
4. Foto thorak
5. AGD

VII. PENGKAJIAN
A. Pengkajian Primer

– Airway

Batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot –otot aksesoris pernapasan ( retraksi otot interkosta)

– Breathing

Perpanjangan ekspirasi dan perpendekan periode inspirasi, dypsnea, takypnea, taktil fremitus menurun pada palpasi, suara tambahan ronkhi, hiperresonan pada perkusi

– Circulation

Hipotensi, diaforesis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat kesadaran, pulsus paradoxus > 10 mm
B. Pengkajian Sekunder

– Riwayat penyakit sekarang

Lama menderita asma, hal yang menimbulkan serangan, obat yang pakai tiap hari dan saat serangan

– Riwayat penyakit sebelumnya

Riwayat alergi, batuk pilek, menderita penyakit infeksi saluran nafas bagian atas

– Riwayat perawatan keluarga

Adakah riwayat penyakit asma pada keluarga

– Riwayat sosial ekonomi

Lingkungan tempat tinggal dan bekerja, jenis pekerjaan, jenis makanan yang berhubungan dengan alergen, hewan piaraan yang dimiliki, dan tingkat stressor.
VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN (Tucker S. Martin, 1998 hal 242-243)

1. a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b. d bronkospasme dan sekresi kental berlebihan

Tujuan: pasien mempertahankan jalan nafas paten

KriteriaHasil :
– Bunyi nafas bersih
– Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal

– Tak ada dispnea

Intervensi:

– Kaji sputum terhadap warna, kekentalan dan jumlah

– Ausultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas tambahan misalnya: mengi, krekels, dan ronchi

– Kaji kualitas dan kecepatan pernafasan

– Kaji frekuensi dispnea: gelisah, ansietas distress pernapasan, penggunan otot bantu

– Beri klien posisi pada ketinggian yang nyaman dan mengoptimalkan pernafasan : tinggikan kepala tempat tidur 60 – 90 derajat, sokong punggung dengan bantal

– Berikan oksigen aliran rendah dengan kateter sesuai pesanan

– Pertahankan/ bantu batuk efektif dan bantu untuk fisioterapi dada

– Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari dan berikan air hangat

– Berikan obat : epinefrin, aminofilin, antihistamin, ekspektoran, kortikosteroid adrenal

– Nebulisasi isoproterenol atau kromolin

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut

Tujuan: pasien mempertahankan pola nafas efektif

Kriteria hasil:

– Sesak berkurang atau hilang, RR 18-24x/menit

– Frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan

– Tidak ada retraksi otot pernapasan

Intervensi:

– Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan : dispnea, penggunaan otot-otot pernapasan

– Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas darah arteri

– Baringkan pasien dalam posisi fowler tinggi untuk memaksimalkan ekspansi dada

– Berikan terapi oksigen sesuai pesanan

– Pertahankan patensi jalan nafas

– Berikan obat sesuai pesanan

1. c. Cemas b.d krisis situasi, kesulitan bernafas, takut serangan ulang

Tujuan : rasa cemas klien menjadi berkurang sampai hilang

KH:

– Klien tampak rileks

– Mengungkapkan perasaan cemas berkurang

– Tanda – tanda vital normal

Intervensi;

– Kaji tingkat kecemasan klien (ringan, sedang, berat)

– Ukur tanda-tanda vital

– Berikan dukungan emosional

– Implementasikan teknik relaksasi : petunjuk imajinasi, relaksasi otot

– Jelaskan informasi yang diperlukan klien tentang penyakitnya, perawatan dan pengobatannya

– Ajarkan klien tehnik relaksasi (memejamkan mata, menarik nafas panjang)

– Menganjurkan klien untuk istirahat

DAFTAR PUSTAKA

Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001

Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998

Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001

Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates , 2000

Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta , EGC, 2002

Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Jakarta, EGC, 1997

laporan pendahuluan dan askep otitis media akut

Laporan KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN

OTITIS MEDIA KRONIK

RUANG THT RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA

Periode Tanggal 22 APRIL 2002 S/D 26 APRIL 2002

DI SUSUN

OLEH :

Fajar Prasetyo

NIM : 0081208

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM STUSI S.1 ILMU KEPERAWATAN

SURABAYA

2002


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Klien dengan Otitis Media Kronik

Di Ruang THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Surabaya, 26 April 2002

Mahasiswa

Subhan

NIM : 010030170 B

Pembimbing Ruangan

………………………

NIP

Pembimbing Akademik

Joni Haryanto, SKp.

NIP. 140 271745


LAPORAN PENDAHULUAN

OTITIS MEDIA KRONIK

Oleh : Luluk Widarti

I.          Pengertian

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.

Gangguan telinga yang paling sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan juga pada orang dewasa  (Soepardi, 1998).

Otitis media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani.

II.       Penyebab / Etiologi

A           Streptococcus.

A           Stapilococcus.

A           Diplococcus pneumonie.

A           Hemopilus influens.

A           Gram Positif             : S. Pyogenes, S. Albus.

A           Gram Negatif           : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.

A           Kuman anaerob        : Alergi, diabetes melitus, TBC paru.

Otitis Media

Otitis media supuratif                                                 Otitis media non Supuratif

(Otitis media serosa)

Otitis media akut (OMA)                                           Otitis media serosa akut

                         (lebih 2 bulan)

Otitis media supuratip kronis                          Otitis media serosa kronis

(OMSK)                                                    (Glue ear)

III.    Diagnosis

  1. 1.         Anamnesis

–            Otorea terus menerus / kumat – kumatan lebih dari 6 – 8 minggu

–            Pendengaran menurun (Tuli).

  1. 2.         Pemeriksaan

b)        Tipe tubotimpanal (Hipertrofi, benigna).(382.1).

a)         Perforasi sentral

b)        Mukosa menebal

c)         Audiogram: Tuli konduktif dengan “air bone gab” sebesar kl 30 dB

d)        X – foto mastoid : Sklerotik.

c)         Tipe degeneratif (382.1).

a)         Perforasi sentral besar

b)        Granulasi atau polip pada mukosa kavum timpani

c)         Audiogram : tuli konduktif/campuran dengan penurunan 50 – 60 dB

d)        X-foto mastoid : sklerotik.

d)        Tipe metaplastik (atikoantral, maligna). (385.3)

a)         Perforasi  atik atau marginal

b)        Terdapat kolesteatom

c)         Desttruksi tulang pada margotimpani

d)        Audiogram : tuli konduktif / campuran dengan penurunan 60 dB atau lebih.

e)         X- foto mastoid : sklerotik/rongga.

e)         Tipe campuran (degeneratif, metaplastik). (385.3)

a)         Perforasi marginal besar atau total

b)        Granulasi dan kolesteatom

c)         Audiogram : tuli konuktif / campuran dengan penurunan 60 dB atau lebih

d)        X- foto mastoid : sklerotik / rongga.

  1. 3.                 Pemeriksaan tambahan : Pembuatan audiogram dan X- foto mastoid (seperti diatas).

IV.    Penyulitan

  1. Abses retro airkula (383.0)
  2. Paresis atau paralisis syaraf fasialis (351)
  3. Komplikasi intrakranial :

–            Meningitis

–            Abses ekstradural

–            Abses otak

V.       Terapi

  1. Tipe tubetimpanal stadium aktif:

–            Anti biotik : Ampisilin / Amoksilin, (3-4 X 500 mg oral) atau klidomisin (3 X 150 – 300 mg oral) Per hari selama 5 –7 hari

–            Pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya

–            Perawatan lokal dengan perhidoral 3% dan tetes telinga (Klora menikol 1- 2%)

–            Pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi

Pada stadium tenang (kering) di lakukan miringoplastik. ICOPIM (5. 194).

  1. Tipe degeneratif :

–            Atikoantrotomi (5.203)

–            Timpanoplastik (5.195).

  1. Tipe meta plastik / campuran

–            Mastoidektomi radikal (5.203)

–            Mastoidektomi radikal dan rekonstruksi.

Untuk OMK dengan penyulit :

Abses retroaurikuler

  1. Insisi abses
  2. Antibiotik : Penisilin Prokain 2 X 0,6-1,2 juta IU i.m / hari dan metronidazol  X 250 – 500mg oral / sup / hari.
  3. Mastoid dektomi radikal urgen.

Paresis atau paralisis syaraf fasialis

  1. Menentukan lokasi lesi :

–            Dengan test Scrimer ® supra atau infra  ganglion

–            Refleks stapedeus : Positif : ® lesi di bawah  N. Stapedeus

Negatif : ® lesi di atasnya

–            Tes pengecapan pada lidah :

Positif :   ®  lesi di bawah korda timpani

Negatif :   ® lesi di atasnya

  1. Mastoidektomi urgen dan dekompresi saraf fasialis
  2. Rehabilitasi.

Labiringitis

  1. Tes fistel
  2. Mastoidektomi urgen.

Meningitis

  1. Perawatan bersama dengan bagian syaraf
  2. Antibiotik:

–            ampicilin 6 x 2-3 g/ hari i.v di tambah

–            Kloranfenikol 4 x 1 G atau seftriakson 1 –2 g / hari i.v

  1. Bila meningitis sudah tenang segera di lakukan mastoidektomi radikal.

Absese ekstradural

  1. Antibiotik  : Ampisilin 4-6 X 2-3 gram/hari i.v
  2. ditambah metronodazol 3 X 500mg Sup / hari.
  3. Perawatan bersama dengan bagian bedah syaraf
  4. Drainase abses oleh bagian bedah syaraf
  5. Bila suadh tenang dilakukan matoiddektomi radikal


ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

A.       Pengumpulan data

1.         Riwayat

a)         Identitas Pasien

b)        Riwayat adanya kelainan nyeri

c)         Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang

d)        Riwayat alergi.

e)         OMA berkurang.

2.         Pengkajian Fisik

a)         Nyeri telinga

b)        Perasaan penuh dan penurunan pendengaran

c)         Suhu Meningkat

d)        Malaise

e)         Nausea Vomiting

f)         Vertigo

g)        Ortore

h)        Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium.

3.         Pengkajian Psikososial

a)         Nyeri otore  berpengaruh pada interaksi

b)        Aktifitas terbatas

c)         Takut menghadapi tindakan pembedahan.

4.         Pemeriksaan Laboratorium.

5.         pemeriksaan Diagnostik

a)         Tes Audiometri : AC menurun

b)        X ray : terhadap kondisi patologi

Misal : Cholesteatoma, kekaburan mastoid.

6.         Pemeriksaan pendengaran

a)         Tes suara bisikan

b)        Tes garputala

B.       DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
  2. Gangguan sensori / presepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga tengah
  3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri
  4. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
  5. Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri, otore menurun ingaran
  6. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan gangguan presepsi pendengaran
  7. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

 

C.       INTERVENSI KEPERAWATAN

Memberikan rasa nyaman

Mengurangi rasa nyreri

  • Beri aspirin/analgesik sesuai instruki
  • Kompres dingin di sekitar area telinga
  • Atur posisi
  • Beri sedatif sesuai indikasi

Mencegah penyebaran infeksi

  • Ganti balutan tiap hari  sesuai keadaan
  • Observasi tanda – tanda infeksi lokal
  • Ajarkan klien tentang pengobatan
  • Amati penyebaran infeksi pada otak :

To, menggigil, kaku kuduk.

Monitor gangguan sesori

  • Catat status pendengaran
  • Ingatkan klien bahwa vertigo dan nausea dapat terjadi setelah radikal mastoidectomi karena gangguan telinga dalam. Berikan tindakan pengamanan.
  • Perhatikan droping wajah unilateral atau mati rasa karena perlukaan (injuri) saraf wajah.

H.E

  • Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinu sesuai aturan
  • Beritahu komplikasi yang mungkin terjadi dan bagaimana melaporkannya
  • Tekankan hal – hal yang penting yang perlu di follow up,evaluasi pendengaran

Terapi medik

  • Antibiotik dan tetes telinga : Steroid
  • Pengeluaran debris dan drainase pus untuk melindungi jaringan dari kerusakan : miringotomy

Interfensi bedah

  • Indikasi jika terdapat chaolesteatoma
  • Indikasi jika terjadi nyeri, vertigo,paralise wajah, kaku kuduk, (gejala awal meningitis atau obses otak)
  • Tipe prosedur
    • Simpel mastoid decstomi
    • Radical mastoiddectomi
    • Posteronterior mastoiddectomi


DAFTAR PUSTAKA

Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical  Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.

Makalah Kuliah THT. Tidak  dipublikasikan

Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.

BISNIS RENDAH BIAYA

Kita sering-sering bisnis rendah biaya, gimana caranya menghemat biaya dalm berbisnis?

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.